Ta’rif ‘Aam bi Dinil Islam fil ‘Aqidah

24/11/2008 13:47

Ta’rif ‘Aam bi Dinil Islam fil ‘Aqidah

Karya Syaikh Ali Thanthawi

 

Dalam menjelaskan mengenai aqidah, Syaikh Ali memulainya dengan menjelaskan istilah-istilah yang banyak beredar dalam pembicaraan para ulama dan banyak tercantum dalam buku-buku aqidah, yaitu syak (keraguan), zhan (persangkaan, dugaan), dan ‘ilm (ilmu) yang akan dijadikan landasan untuk mendefinisikan aqidah.

Istilah-istilah tersebut dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Jika ada yang mengatakan, “Apakah di Bogor sekarang hujan?” Kita tidak bisa mengatakan “ya” ataupun “tidak”. Karena kemungkinannya 50% untuk hujan atau tidak. Tidak ada bukti yang menguatkan keadaan disana. Inilah yang disebut keraguan. Kemudian bila kita melihat langit ke arah Bogor, dan terlihat mendung dari kejauhan, maka akan sedikit kuat keyakinan kita bahwa di Bogor turun hujan. Inilah yang dinamakan dugaan.

Selanjutnya bila kita pergi ke Bogor, melihat dan merasakan langsung hujan di sana, maka kita yakin akan turunnya hujan itu. Inilah yang disebut dengan ilmu. Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah sama dengan keyakinan, kebalikan dari keraguan atau dugaan. Jadi bukan ilmu yang kebalikan dari jahl (kebodohan).

 

Ilmu Dharuri dan Nazhari

Ilmu yang bisa diperoleh dengan indra, tidak membutuhkan dalil (argumen). Bila kita melihat bukit atau lembah dihadapan kita, maka tidak mengharuskan adanya dalil untuk membuktikan keberadaannya. Setiap orang berakal yang melihatnya, akan mengetahui keberadaannya. Hal seperti ini yang disebut ilmu dharuri.

Ilmu nazhari tidak bisa diperoleh kecuali dengan dalil rasional. Seorang ilmuwan yang telah memahami dalil tersebut, mengetahui bahwa itu adalah kebenaran. Sedangkan orang awam tidak mengetahui dan mempercayainya selagi tidak memahami dalil tersebut.

 

Aksioma dan Aqidah

Sebagian ilmu nazhari –yang asalnya memerlukan dalil dan tidak bisa dimengerti hanya dengan melihatnya– ada yang tersebar luas secara merata, sehingga diketahui oleh ilmuwan maupun orang bodoh, sehingga menjadi mirip ilmu dharuri. Contohnya adalah ilmu bahwa ‘bagian’ itu lebih kecil daripada ‘keseluruhan’. Jika Anda berusaha meyakinkan bahwa bagian dari kue yang Anda berikan pada seorang anak itu lebih besar daripada yang keseluruhan, ia tidak akan mempercayainya. Karena prinsip “bagian lebih kecil daripada keseluruhan” merupakan aksioma. Aksioma adalah hakikat-hakikat rasional yang diterima oleh semua orang dan tidak ada seorang pun yang meminta dalil untuk menguatkannya. Bila aksioma-aksioma itu memasuki akal, tertanam kuat di dalamnya, berpengaruh kepada pikiran dan perasaan, sera mengarahkan pola piker manusia dan perbuatan-perbuatannya, maka disebut aqidah. Keyakinan terhadap itu disebut iman (percaya).

Akan tetapi, kita mengetahui bahwa terkadang meyakini sesuatu yang salah, seperti para pengikut aliran yang menyimpang dan ideologi yang salah. Apakah mereka termasuk orang-orang yang beriman (mu`min)? Tidak, bila yang dimaksud adalah keimanan mutlak. Namun kita bisa menyebut mereka dengan sebutan iman, dengan menyandarkannya pada kebatilan yang mereka imani. Allah Ta’ala berfirman,

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (an Nisa:51)

Bisa juga menyebut mereka dengan sebutan iman, dengan membatasinya dengan sebutan tertentu, seperti dalam firman Allah,

“Dan mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (Yusuf:106)

Orang yang dapat disebut mukmin –sesuai dengan al Quran, as Sunnah, dan perkataan para ulama– adalah orang-orang yang meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb; meyakini Allah sebagai Pemilik yang berwenang mutlak; meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak diibadahi, tidak ada satupun yang bersekutu dengan-Nya dalam setiap hal yang merupakan kategori ibadah; serta meyakini segala yang diwahyukan kepada para nabi-Nya melalui perantaraan malaikat, juga meyakini kebenaran para rasul, hari Akhir, dan taqdir (yang baik dan buruk).

 

Prinsip-Prinsip Aqidah

 

1.        “Apa yang saya ketahui dengan indra, saya tidak ragu bahwa ia ada.”

2.        “Sebagaimana keyakinan itu bisa diperoleh melalui idra dan penglihatan, ia juga bisa diperoleh melalui kabar yang disampaikan oleh orang yang kita percaya kejujurannya.”

3.        “Tidak dibenarkan bagi kita untuk mengingkari keberadaan benda semata-mata karena kita tidak dapat mendeteksinya dengan indra kita.”

4.        “Daya khayal manusia tidak mampu membayangkan selain apa yang dideteksi oleh indra.”

5.        “Akal tidak dapat menghukumi dan hukumnya tidak akan benar, kecuali dalam perkara-perkara material yang terbatas.”

6.        “Seluruh manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir, yang tumbuh dilingkungan ibadah maupun terdidik di sarang-sarang kefasikan, apabila ditimpa bencana yang tidak mampu mereka atasi dengan kekuatan mereka sendiri dan tidak menemukan sesuatu yang bisa menolaknya, mereka tidak akan meminta perlindungan kepada benda apapun yang ada di jagad raya ini, tetapi mereka meminta perlindungan kepada kekuatan yang ada di belakang jagad raya, yang tidak bisa mereka lihat, tetapi bisa dirasakan dengan ruh, hati, dan seluruh saraf.”

7.        “Jiwa senantiasa merindukan dunia spiritual yang tinggi, yang tidak diketahui kecuali hanya kilasan-kilasannya saja. Ia yakin (melalui perasaannya, bukan dalil rasional) bahwa dunia materi bukan segalanya dan dunia materi yang tersembunyi di balik dunia materi adalah hakikat yang sebenarnya. Inilah bukti kejiwaan mengenai akhirat.”

8.        “Keyakinan mengenai keberadaan kehidupan akhirat merupakan pengaruh langsung dari keyakinan mengenai keberadaan Allah.”

 

 

Iman Kepada Allah

 

Iman kepada Allah meliputi empat hal: (1) Allah itu ada tanpa sesuatu lain yang mengadakan-Nya; (2) Dia adalah Rabb (pemelihara) seluruh alam; (3) Dia adalah pemilik alam semesta yang memiliki wewenang mutlak untuk mengaturnya; (4) Dia adalah satu-satunya Tuhan yang diibadahi, tidak ada yang diibadahi selain-Nya.

 

Wujud Allah

Sebenarnya kita dapat meyakini akan adanya eksistensi atau wujud Allah hanya dengan melihat ke dalam diri kita. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan (juga) pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?” (adz Dzariyat:21)

Seperti yang telah disebutkan pada prinsip aqidah yang keenam tadi, kita merasakan bahwa Dia ada. Kita bersandar kepada-Nya pada saat-saat susah dengan fithrah keimanan dan naluri keberagamaan kita. Akal batin kita mempercayai keberadaan-Nya berdasarkan insting, sedangkan akal lahir mempercayai eksistensi-Nya berdasarkan bukti.

Lalu bagaimana mungkin seseorang mengingkari Allah, sedangkan dirinya sendiri merupakan bukti akan keberadaan-Nya? Karena, mereka tidak berpikir mengenai dirinya sendiri.

Ÿ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (al Hasyr:19)

Mereka lari dari dirinya, karena takut jika menyendiri. Mereka tidak bisa hidup sendirian, hanya dengan dirinya sendiri, tanpa aktivitas. Karena itu mereka menyibukkan dirinya dengan membuang-buang waktu dan sia-sia saja. Seakan-akan usianya –yang merupakan modal utamanya– merupakan beban yang harus dipikul di atas pundaknya, karenanya ia lemparkan untuk menghindarkan diri darinya.

Descrates, ketika mencoba doktrin keraguan dan meragukan segala sesuatu, maka ia sampai kepada dirinya. Ia tidak bisa meragukannya. Karena dialah yang memiliki keraguan. Karenanya, ia mengeluarkan perkataannya yang terkenal, “Saya berpikir, karena itulah saya ada.” Ia ada dan tidak ragu akan keberadaannya. Lalu siapa yang mengadakannya? Apakah ia diadakan oleh benda-benda yang ada ini, yang tidak berakal sementara dirinya berakal? Bisakah sesuatu yang tidak berakal memberikan akal? Sebenarnya di dalam al Qur`an, Allah telah memberikan pukulan telak bagi siapapun yang tunduk pada akal dan menghormati pemikiran orang atheis:

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (ath Thur:35)

 

Allah adalah Tuhan Semesta Alam

Inilah permasalahan kedua di antara permasalahan-permasalahan keimanan kepada Allah, yaitu hendaklah kita meyakini bahwa Allah (sendiri) menciptakan alam ini beserta isinya. Allah juga menetapkan baginya berbagai hukum alam yang menakjubkan, yang belum berhasil kita singkapkan seluruhnya hingga masa sekarang.

Dialah Tuhan bagi seluruh alam ini. Dialah yang telah menciptakannya dan terus memeliharanya. Dialah yang mengubah dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya. Dialah yang menciptakan setiap atom yang terdapat di dalamnya, yang menjadi bukti –bagi orang yang berakal– akan keberadaan-Nya dan membimbingnya untuk menemukan-Nya.

Masalah ini harus diyakini, tetapi cukupkah dikatakan seseorang beriman bila telah meyakininya? Bila seseorang datang kepada Anda dan mengakui bahwa Allah adalah al Khaliq (Pencipta) dan Rabb (Pemelihara), apakah dengan begitu Anda mengkategorikan sebagai orang yang beriman?

Itu saja tidak cukup, karena umat-umat terdahulu kebanyakan mempercayainya. Orang kafir Quraisy –dimana Nabi Muhammad saw. diutus untuk mengingkari kemusyrikan mereka, mencela aqidah mereka, serta dibebani kewajiban untuk memerangi mereka– apabila ditanya mengenai hal itu, maka mereka mengakui dan tidak mengingkarinya.

 

Allah adalah Pemilik Jagad Raya

Permasalahan ketiga, sesungguhnya Allah adalah Pemilik jagad raya, yang mengelolanya sesuai dengan kehendak-Nya. Dia menghidupkan dan mematikan tanpa bisa kita menolaknya. Dia menjadikan seseorang sakit atau sehat dimana kita tidak bisa menyembuhkan orang yang tidak diberikan kesembuhan oleh Allah. Dia memberi harta dan menguji dengan kefakiran, mengirim banjir dan menimpakan kekeringan. Itu semua adalah hal-hal yang terlihat, tetapi manusia tidak mampu menolak atau mencegahnya.

 

Ilah yang Diibadahi

Sebagian besar manusia mengakui Allah adalah Pemilik kerajaan yang memiliki otoritas untuk mengelola jagad raya ini. Tetapi ini saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai mukmin. Permasalahan tersebut harus diiringi pula dengan permsalahan keempat, yaitu bahwa Dialah satu-satunya ilah (sesembahan) yang diibadahi.

Jika Anda telah mengetahui bahwa Allah itu ada, Dia adalah Tuhan seluruh jagad raya, dan Dialah Pemilik kerajaan, maka janganlah Anda beribadah kepada selain-Nya bersamaan dengan ibadah kepada-Nya. Janganlah memberikan satupun di antara bentuk-bentuk ibadah kepada selain-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

 “Katakanlah, ‘Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia.’” (an Nas:1-3)

Dalam surat tersebut terdapat bantahan terhadap siapa saja yang mengakui keberadaan, juga status-Nya sebagai Rabb dan Raja, tetapi tidak mentauhidkan-Nya dengan tauhid uluhiyah. Mengapa dalam surat an Nas, Allah mengulang-ulang kata “manusia” tanpa menggunakan kata ganti “mereka”, misalnya? Karena Allah ingin menyatakan bahwa , “Inilah tiga perkara yang setara dan merupakan satu kesatuan. Masing-masing perkara berdiri sendiri, tetapi tetap memiliki keterkaitan dengan yang lain.”

 

 

 

Tauhid Uluhiyah

 

Tauhid uluhiyah menghendaki kita agar yakin bahwa kemanfaatan dan kemudharatan hanya datang dari Allah, sehingga kita tidak meminta kemanfaatan kecuali dari-Nya. Kita hanya diperbolehkan menggunakan jalan-jalan yang telah ditetapkan oleh Allah (sunnatullah) dalam jagad raya ini yang sering disebut hukum alam, atau berdoa langsung kepada-Nya, bukan berdoa kepada-Nya namun berdoa juga kepada selain-Nya, serta tidak mencari perantara kepada-Nya. Kita tidak meminta pertolongan kecuali kepada-Nya atau dengan sebab-sebab yang dijadikan-Nya sebagai jalan kemanfaatan, seraya memperhatikan bahwa Dialah yang memberikan kemanfaatan dan bukan hanya sekedar sebab tersebut. Hendaklah kita hanya mempersembahkan kecintaan secara mutlak kepada-Nya, yang akan mendorong untuk memberi ketaatan mutlak kepada-Nya. Demikian pula ketakutan yang Anda berikan kepada-Nya yang mendorong kita untuk menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya. Hendaklah kita memberikan penghormatan mutlak kepada-Nya berikut segala perkataan dan perbuatan yang menjadi indikasi penghormatan tersebut. Selain itu kita harus mencari ridha-Nya saja, tidak bertujuan mencari dunia dan penduduknya dengan ibadah yang kita lakukan.

 

Penelitian Ilmiah

Karena Allah telah memberikan kita akal, maka Dia memerintahkan kita untuk memperhatikan rahasia-rahasia jagad raya, sunah-sunahnya yang menakjubkan, dan hukum-hukumnya yang telah ditetapkan oleh Allah didalamnya, padahal kita berkewajiban melaksanakan perintah Allah, maka pelajaran ilmu alam dan penyingkapan rahasia-rahasia jagad raya ini adalah ibadah. Dengan catatan, jangan sampai kita berhenti pada pengetahuan tentang hukum-hukum tersebut, tetapi kita harus berpikir tentang Ilah yang menciptakannya, sehingga dengan kegiatan berpikir ini semakin bertambahlah iman dan keikhlasan kita dalam beribadah kepada Allah. Satu syarat lagi, hendaklah rahasia-rahasia ini kita gunakan untuk apa yang berguna bagi orang lain dan mendatangkan keridhaan Allah, bukannya untuk hal-hal yang menyakiti mereka, serta mengakibatkan kerusakan di bumi.

 

Syubhat dan Bantahannya

Banyak orang bertanya, mengapa orang kafir yang berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, membagikan sedekah, membangun tempat-tempat pengungsian dan rumah-rumah sakit, serta membuka sekolah-sekolah yang (menurut orang-orang) baik, tetapi ia tidak mendapatkan pahala akhirat? Jawabannya: sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amalan seseorang laki-laki maupun perempuan dan tidak menghalangi seseorang yang berbuat baik memetik buah kebaikannya. Bahkan sebaliknya, Dia memberikan apa yang dimintanya. Bukankah balasan yang paling besar adalah apabila kita memberi orang yang berbuat baik apa yang dimintanya?

Bila orang yang berbuat baik itu adalah seorang mukmin yang percaya kepada akhirat dan meminta pahalanya, niscaya Allah memberikan pahala akhirat kepadanya. Namun, bila ia sendiri tidak menginginkan selain kenikmatan dunia, ketenaran, sebutan yang baik, penulisan namanya di koran-koran, serta penyebutan namanya dalan sejarah, maka Allah pun memberikan kepadanya apa yang dimintanya.

Dia tidak menginginkan akhirat, lalu mengapa kita bersedih dan menolak apabila ia tidak diberi pahalanya?

 

Perdebatan yang Tidak Berguna

Buku-buku ilmu kalam penuh dengan perdebatan tentang sifat-sifat dan dzat Allah. Misalnya, apakah ilmu Allah itu dengan dzat-Nya ataukah dengan sifat ilmu di dalamnya? Juga tentang pembedaan antara sifat dzat seperti ilmu dan kuasa, dengan af’al seperti mencipta dan memberi rexeki. Demikian pula perdebatan mengenai kalam Allah yang mengakibatkan fitnah besar yang tidak perlu terjadi, yaitu fitnah “pengujian pendapat tentang kemakhlukan al Quran”; juga perdebatan tentang baik dan buruk, mengenai yang saleh dan ashlah (lebih saleh), tentang qadha dan qadar, tentang iradah manusia, dan lain-lain. Dalam masalah ini sikap yang benar adalah pembahasan dan perdebatan mengenainya.

Pertama, karena kaum salaf, yang merupakan generasi paling utama dari kalangan kaum Muslimin dan terbaik di kalangan umat Islam, yaitu para sahabat dan tabi’in tertua, tidak mengenal dan tidak membahasnya. Agama merekalah yang paling selamat dan iman merekalah yang paling sahih, serta mereka itu menjadi suri teladan bagi kita.

Kedua, karena barangsiapa melihat secara jeli pendapat berbagai fikrah tersebut, niscaya akan menemukan bahwa semua itu di bangun di atas satu landasan, yaitu penganalogian Khaliq dengan makhluk dan penerapan logika akal dan kondisi kejiwaan manusia terhadap Allah. Itu merupakan kebatilan, karena Khaliq tidak serupa dengan makhluk dan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah.

Ketiga, karena semua perkara ini termasuk dalam ruang lingkup alam ghaib. Dalam prinsip iman yang kelima yang telah dibahas di muka, telah disebutkan bahwa akal hanya mempu menghukumi apa yang ada di alam fisik (materi) dan tidak mampu menghukumi dan mengetahui apa yang ada di alam ghaib.

Sesungguhnya Allah tidak akan bertanya kepada kita pada hari Kiamat, tentang apa yang dijadikan bahan perdebatan oleh para ahli kalam, yang mereka jadikan alasan dalam berbagai aliran mereka, dan mereka gunakan untuk memenuhi buku-buku mereka. Bila itu merupakan syarat keimanan, tentulah Rasulullah dengan para sahabatnya mengkajinya. Mari kita tinggalkan semua itu, karena ia merupakan salah satu pengaruh falsafah Yunani kuno yang telah berakhir kejayaannya. Mari kita jadikan Kitabullah sandaran kita. Bila di situ disebutkan perkara-perkara ghaib yang disebutkan sebagiannya saja, maka kita mengimaninya sesuai dengan apa yang disebutkannya. Adapun yang tidak kita ketahui, kita serahkan pada Dia yang telah menurunkannya kepada kita.

—————

Back


Contact

KAMMI Komsat UHAMKA

jl.limau II gandaria selatan kebayoran baru jakarta selatan


085694539078,