Gerakan Mahasiswa Islam dan Transisi Demokrasi

26/10/2008 16:48

Gerakan Mahasiswa Islam dan Transisi Demokrasi

Keberadaan gerakan mahasiswa Islam dalam konstalasi sosial politik di negeri ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara.

Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor disetiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama di Tahun 1966. peristiwa Lima belas Januari tahun 1974 dan terakhir runtuhnya Orde Baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa Islam di Indonesia. Disinipulah mahasiswa trlah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi perlawanan dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan sosial kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan, pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus mementuk gaya hidup unik melalui akulturasi social budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karir.

Bangsa Indonesia saat ini tengah memasuki fase “transisi politik awal”. Inilah fase yang ditandai serba ketidak pastian, dan karenanya dinamai ilmuan politik sebagai fase “transisi dari autoritarianisme menuju entah kemana”. Di dalam fase ini, gerakan mahasiswa Islam mengalamai beberapa pergeseran sikap dengan gejala pertama ditengah suasana euporia reformasi ini gerakan mahasiswa Islam dan para aktivis Islam mengalami repolitisasi, namun dalam bentuk yang masih sulit ditebak format dan arahnya. Kedua ditengah euporia reformasi ini gerakan mahasiswa Islam dan aktivis Islam mengalami reintegrasi. Ketiga ditengah euporia reformasi ini gerakan mahasiswa Islam dan aktivis Islam mengalami refragmentasi dan redisintegrasi serius, sehinggal terbelah dalam faksi-faksi yang tidak saja berbeda namun juga potensial saling berikai. Ketiga gejala yang cukup menghawatirkan inilah yang sejauh ini bisa kita identifikasi. Dan perkembangan dari ketiga gejala inilah yang ikut menentukan format baru kehidupan bangsa dan bernegara dimasa yang akan datang.

Kekeliruan-Kekeliruan Gerakan Mahasiswa Islam
Ditengah gejala tersebut di atas, erakan mahasiswa Islam potensial terjebak oleh kekeliruan lama mereka yang apabila tidak berhati-hati dan kurang bersikap jujur serta objektif, boleh jadi akan menjerumuskannya pada lubang yang sama diantaranya: pertama, gerakan mahasiswa Islam kerapkali gampang atau lebih suka marah ketimbang melakukan politisasi. Kemarahan adalah luapan emosional spontan yang tidak memiliki target, agenda dan platform. Kemarahan kerapkali tidak banyak berarti dan tidak banyak mempengaruhi perkembangan politik, social dan ekonomi yang berjalan di sekitarnya. Sementara melakukan politisasi berarti membangun aksi atau gerakan yang memiliki target, agenda, platform, serta berjangka panjang bahkan permanen. Pengaruh dari politisasi terhadap perkembangan social, politik dan ekonomi disekitarnya bisajadi signifikan.

Kedua, gerakan mahasiswa Islam kerapkali sering mengurusi kulit, bukan Islam. Soal-soal substantif seringkali justru luput dari perhatian gerakan mahasiswa Islam, sementara pada saat yang sama soal-soal artificial justru diurusi.

Ketiga, gerakan mahasiswa Islam kerapkali terpesona pada aktor (figure,pelaku), bukan pada isme atau wacana yang diproduksinya. Sejarah politk di masa Orde Baru menunjukkan betapa gerakan mahasiswa Islam kerapkali terjebak untuk mendefinisikan kawan dan lawan berdasarkan figure atau ketokohan, bukan isme atau wacana.

Keempat, gerakan mahasiswa Islam kerapkali dilakukan sebagai reaksi, bukan proaksi. Agenda dan opini publik biasanya diciptakan oleh kalangan lain, dan kalangan gerakan mahasiswa Islam sibuk bereaksi atas agenda atau opini yang telah terbentuk itu. Gerakan mahasiswa Islam sangat jarang mengambil inisiatif menciptakan agenda dan opini publik lebih dahulu (proaksi). Ibarat pemain silat, kalangan aktivis gerakan mahasiswa Islam pun lebih banyak sibuk menangkis dan bukan menyerang mempersiapkan serangan.

Kelima, gerakan mahasiswa Islam sangat kerap dan senang membuat kerumunan, dan bukan barisan. Sebuah kerumunan bisa saja terdiri banyak orang, namun sangat rentan lantaran tidak memiliki agenda, platform, program, kepemimpinan, jaringan, dan rencan-rencana aksi, yang dikosesuskan di antara mereka. Sebaliknya sebuah barisan sekalipun beranggotakan sedikit merupakan kekuatan yang tangguh lantaran mereka memiliki agenda, platform, program, kepemimpinan, jaringan, dan rencana-rencana aksi, yang dikonsensuskian diantara mereka. Kekeliruan-keliruan seperti itulah yang menjadi sebab terpenting dari kelemahan umat islam.

Reformasi Menyeluruh
Terproduksinya berbagai kekeliruan sosial, politik dan ekonomi dikalangan umat Islam tentu saja tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang ada disekelilingnya. Artinya, hal itu disokong oleh karakter system politik yang menjadi konteksnya. Sistem politik yang eksklusif, nonpartisipatif, sentralistik, dan antipublik, telah memberi lahan subur bagi terproduksinya keliruan-kekeliruan itu. Oleh karena itu, membangun format baru kehidupan berbangsa dan bernegara meski dimulai dengan keikutsertaan sungguh-sungguh dari gerakan mahasiswa Islam dalam menyokong gerakan reformasi menyeuruh. Reformasi menyeluruh yang harus didukung oleh gerakan mahasiswa Islam meliputi empat tingkat reformasi yang dibutuhkan saat ini.

Pertama, reformasi kepemimpinan nasional, yakni proses pembentukan kepemimpinan nasional beserta perangkat-perangkat penyokong yang autentik. Kepemimpinan nasional yang autentik adalah yang tidak punya beban psikologis ketika mengagendakan good governance dan anti-KKN karena ia sendiri professional dan kapabel serta tidak terlibat KKN yang tidak punya beban moral ketika mengagendakan pembentukan clean government lantaran ia sendiri clean.

Kedua, reformasi karakter keuasaan. Gerakan mahasiswa Islam seyogyanya menjadi penyokong reformasi karakter kekuasaan guna menghindarkan terulangnya karakter kekuasaan Orde Baru yang amat bermasalah bercirikan sentralistik, autonomisasi (menjadikan kekuasaaan dari masyarakat), personalisasi, dan sakralisasi. Gerakan mahasisa Islam seyogyanya menyokong terbangunnya kekuasaan yang reformis bercirikan desentralisasi, propublik, institusional, dan rasional (tidak sakral).

Ketiga, reformasi perubahan system. Gerakan mahasiswa Islam seyogyanya menjadi penyokong yang sungguh-sungguh program perubahan system, termasuk di dalammnya demiliteerisasi, pembentukan mekanisme electoral (pemilu) yang kompetitif demokratis, penyehatan parlemen, dan pelembagaan baru sitem poltitik secara menyeluruh. Tanpa system yang berubah secara menyeluruh tentu sentu saja melalui jadwal yang terukut.

Keempat, reformasi paradigma atau pergeseran paradigma. Gerakan mahasiswa Islam seyogyanya menyokong dan ikut menjalani perubahan-perubahan paradigma yang sangat diperlukan setelah Orde Baru melakukan perusakan paradigma secara sitematis dan berhasil. Agenda yang paling prioritas dalam konteks ini, tentu saja, pergeseran paradigma di kalangan gerakan mahasiswa Islam yang apolitis, pragmatis, subjektif, irasional menjadi politis, kalkulatif, objektif dan rasional.

Bagaimana Dengan Pemilu.
Dalam konterks membangun format baru kehidupan berbangsa dan bernegara, pemilu hanya merupakan alat legitimasi pemerintah tanpa ada jaminan kepastian bahwa setelahnya segera terbangun efektifitas pemetintahan. Pemilu adalah instrumen untuk memperbaiki legitimasi pemerintahan yang saat ini mengalami degradasi kepercayaan publik secara luar biasa dramatis. Tidak ada jaminan bahwa segera setelah pemilu segala macam persoalan ekonomi dan politik bakal terselesaikan serta merta merata.

Apakah dengan terlaksananya pemilu 2004 dengan sendirinya proses demokratisasi di Indonesia bakal terdorong lebih cepat dan pasti? Secara teori terselenggaranya sebuah pemilu pasca rezim autoritarian memang membuka harapan besar bagi akselerasi demokrasi. Tapi fakta-fakta yang terbesar dalam kasus transisis di Amerika latin, Eropa Timur, atau Asia dan Afrika mengajari kita justru untuk lebih berhati-hati.

Dalam konteks Indonesia, kehati-hatian bahkan harus diperbesar, terutama mengingat pelajaran peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Pemilu 1971, pemilu transisi waktu itu, pada awalnya amat diharapkan menjadi pembuka akselasi demokrasi dan moderenisasi. Namun sejarah membuktikan bahwa pemilu tahun 1971 dan dilanjutkan pemilu-pemilu berikutnya tahun 1977, 1982, 1992, 1997, bahkan pemilu 1999 hanya menjadi mesin pembetuk legitimasi kekuasaan semu. Pasca pemilu demi pemilu tidak pernah terbangun pemerintahan yang representatif (representativ government), tidak pernah terbangun tata kelola pemerintahan yang profesioanl (good governance), dan tidak pernah terbangun mekanisme pertanggung jawaban publik (public accountability), tujuan asasi pemilu pun membangun daulat rakyat menggantikan raja akhirnya tak pernah bisa digapai

Proses demokratisasi bukanlah sesuatu yang niscaya pasca pemilu 2004. Pembajakan proses transisi ke arah rekonsolidasi autoriterianisme masih terbuka peluangnya. Belajar dari kasus transisi demokrasi ditempat lain, dan juga di negeri ini pemilu-pemilu sebelumnya. Pendeknya pemilu tahun 2004 tidak membuat prospek demokratisasi menjadi ceria secara pratis. Pasca pemilu 2004 perjuangan demokratisasi justru akan menjadi semakin alot dan memakan energi. Tidak ada jaminan bahwa demokratiasi akan mengalir deras dari atas. Karenanya tidak ada jalan lain selain menyiagakan setiap orang Indonesia, khususnya gerakan mahasiswa Islam yang punya komitmen pada reformasi menyeluruh untuk menjadi pengawas kritis pemerintah, lembaga legislative maupun yudikatif dan proses politik, sembari menghindari terkontaminasi getah dan virus-virus politik mereka. Tanpa itu demokratisasi tak akan pernah singgah di Indonesia.
(yunizarsyiham)

—————

Back


Contact

KAMMI Komsat UHAMKA

jl.limau II gandaria selatan kebayoran baru jakarta selatan


085694539078,